Senin, 21 November 2011

Ringkasan Hukum Jaminan

Istilah dan Pengertian Hukum Jaminan
Istilah Hukum jaminan berasal dari terjemahan Zakerheidessteling atau Security of law

Pengertian
1. Menurut Sri sudewi masngun sofwan
Hukum jaminan adalah mengatur konstruksi yuridis yang memungkinkan pemberian fasilitas kredit dengan menjaminkan benda2 yang dibeli sebagai jaminan. Peraturan yang demikian harus cukup meyakinkan dan memberikan kepastian hokum bagi lembaga2 kredit baik dari dalam negeri maupun luar negeri

Minggu, 20 November 2011

PP Nomor 25 tahun 2004 tentang PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 25 TAHUN 2004
TENTANG
PEDOMAN PENYUSUNAN PERATURAN TATA TERTIB DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
bahwa sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang merupakan pedoman bagi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk menyusun Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Ringkasa Hukum Perizinan

Dibawah ini adalah ringkasan Hukum perijinan yg saya terima di semester 5, apabila terdapat kekurangan harap ditambahkan y, trims.


Sifat-sifat izin :


  1. Bebas
  2. Terikat
  3. Menguntungkan
  4. Memberatkan
  5. Izin yg segera berakhir
  6. Izin yg berlangsung lama
  7. Bersifat pribadi
  8. Bersifat kebendaan

Kamis, 17 November 2011

NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 9 TAHUN 1992
TENTANG
KEIMIGRASIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa pengaturan keimigrasian yang meliputi lalu lintas orang masuk atau ke luar wilayah Indonesia merupakan hak dan wewenang Negara Republik Indonesia serta
merupakan salah satu perwujudan dari kedaulatannya sebagai negara hukum yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional yang berwawasan Nusantara
dan dengan semakin meningkatnya lalu lintas orang serta hubungan antar bangsa dan
negara diperlukan penyempurnaan pengaturan keimigrasian yang dewasa ini diatur dalam
berbagai bentuk peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai lagi dengan
perkembangan keadaan dan kebutuhan;
c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas, dipandang perlu mengatur ketentuan
tentang keimigrasian dalam suatu Undang-undang.
Mengingat : 1. Pasal 5 ayal (1) dan Pasal 20 ayat (1 ) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 113, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1647)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-uandang Nomor 3 Tahun 1976 tentang
perubahan Pasal 18 Undang-undang Nomor 62 Tahun 1959 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 20, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3077);
3. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara
Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209);
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KEIMIGRASIAN

UU No 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 31 TAHUN 1999
TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara dan menghambat pembangunan nasional, sehingga harus diberantas dalam
rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945;
b. bahwa akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan
pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi;
c. bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum dalam
masyarakat, karena itu perlu diganti dengan Undang-undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalam mencegah dan
memberantas tindak pidana korupsi;
2
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c
perlu dibentuk Undang-undang yang baru tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme;

Rabu, 16 November 2011

Hukum Perjanjian

Pengertian Perjanjian

1. Menurut Kitab Undang Undang Hukum Perdata
Perjanjian menurut Pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum Perdata berbunyi : “Suatu Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
2. Menurut Rutten
Perjanjian adalah perbuatan hokum yang terjadi sesuai dengan formalitas-formalitas dari peraturan hokum yang ada, tergantung dari persesuaian pernyataan kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak secara timbal balik.
3. Menurut adat
Perjanjian menurut adat disini adalah perjanjian dimana pemilik rumah memberikan ijin kepada orang lain untuk mempergunakan rumahnya sebagai tempat kediaman dengan pembayaran sewa dibelakang (atau juga dapat terjadi pembayaran dimuka).
Macam – Macam Perjanjian
1). Perjanjian dengan Cuma-Cuma dan perjanjian dengan beban
2). Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik
3). Perjanjian konsensuil, formal dan, riil
4). Perjanjian bernama, tidak bernama dan, campuran
Syarat sahnya perjanjian
Menurut Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, sahnya perjanjian harus memenuhi empat syarat yaitu :
1. Sepakat untuk mengikatkan diri
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
3. Suatu hal tertentu
4. Sebab yang halaL
Dua syarat yang pertama yaitu kesepakatan dan kecakapan yang disebut syarat- syarat subyektif. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif, karena mengenai perjanjian itu sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan.
Pelaksanaan Perjanjian
Itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata merupakan ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya untuk memperoleh hak milik ialah jual beli.
Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya.
Jadi perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah dibuat secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau dibatalkan secara sepihak saja.
Pembatalan Perjanjian
Suatu perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian ataupun batal demi hokum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi karena;
1. Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
2. Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
3. Terkait resolusi atau perintah pengadilan
4. Terlibat Hukum
5. Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan, atau wewenang dalam melaksanakan perjanjian

Pengertian Perjanjian

PENGERTIAN PERJANJIAN
PASAL 1313 KUHPdt
 “ Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang/ lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain/ lebih”

Istilah :
 - perikatan ( verbintenis)
 - perjanjian/persetujuan ( overeenkomst)
 Sumber perikatan : 
1. Perjanjian
2. Uu

Kelemahan pasal 1313 kuh pdt
 1. Hanya menyangkut sepihak saja
 “satu orang/lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang /lebih lainnya”
 Kata kerja “mengikatkan” sifatnya dr satu pihak tidak kedua belah pihak. Seharusnya “saling mengikatkan diri” (adanya konsensus antara pihak-pihak)

  2. Kata “perbuatan” mencakup juga tanpa adanya konsensus”
 Pengertian “perbuatan” termasuk tindakan
 - tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming) pasal 1354 kuhpdt.
 - tindakan/perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad ) pasal 1365 kuhpdt. tidak ada unsur persetujuan
 “seharusnya dipakai kata “ persetujuan”

 3. Pengertian perjanjian terlalu luas
 Krn mencakup hal-hal mengenai janji kawin, diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang diatur hanya buku iii kuhpdt. , perjanjian bersifat kebendaan bukan bersifat personal.

 4. Tanpa menyebut tujuan
sehingga pihak-pihak yang mngikatkan diri itu tidak jelas untuk apa. Krn alasan tersebut, maka perjanjian dapat dirumuskan.

Selasa, 15 November 2011

Pengadilan Anak

Pengadilan Anak bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara anak, dan batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
Pemeriksaan perkara:
  1. Dalam hal anak melakukan tindak pidana sebelum berumur 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang Pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun tetap diajukan ke sidang anak.
  2. Hakim yang mengadili perkara anak, adalah Hakim yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Ketua Pengadilan Tinggi.
  3. Dalam hal belum ada Hakim Anak, maka Ketua Pengadilan dapat menunjuk Hakim Anak dengan memperhatikan ketentuan Pasal 10 Undang-Undang No. 3 Tahun 1997, dengan ketentuan yang bersangkutan segera diusulkan sebagai Hakim Anak. 
  4. Hakim Anak memeriksa dan mengadili perkara anak dengan Hakim Tunggal, dan dalam hal tertentu Ketua Pengadilan Negeri dapat menunjuk Hakim Majelis (Yang dimaksud dengan "hal tertentu" adalah apabila ancaman pidana atas tindak pidana yang dilakukan anak yang bersangkutan lebih dari 5 (lima) tahun dan sulit pembuktiannya).
  5. Dalam hal anak melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa dan atau anggota TNI, maka anak yang bersangkutan diajukan ke sidang Anak, sedangkan orang dewasa dan atau anggota TNI diajukan ke sidang yang bersangkutan.
  6. Dalam hal anak melakukan tindak pidana HAM Berat, diajukan ke sidang Anak.

Definisi-definisi dalam Hukum Perlindungan Anak

Definisi Anak Pelaku Tindak Pidana : Anak yang melakukan tindak pidana yang telah mencapai umur 12 (dua belas) tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah. (dikutip dari kesepakatan bersama Depsos dan Dephum dan HAM)

Definisi Anak Nakal : Anak yang melakukan tindak pidana atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. (pasal 1 ayat 2 Undang-undang Nomor 3 Th 1997 tentang Peradilan Anak). Anak nakal adalah Anak yang mengalami kesulitan penyesuaian diri yang menyebabkan penyesuaian diri yang menyebabkan melanggar hokum, sulit dididik dalam keluarga dan dapat membahayakan orang lain. (definisi menurut Pekerja Sosial)

UU Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Perlindungan Anak

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 3 TAHUN 1997
TENTANG
PENGADILAN ANAK


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang;
b. bahwa untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai, oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus;
c. bahwa berdasarkan penjelasan Pasal 10 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan penjelasan Pasal 8 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, pengkhususan pengadilan anak berada di lingkungan Peradilan Umum dan dibentuk dengan Undang-undang;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, b, dan c, perlu membentuk Undang- undang tentang Pengadilan Anak;


Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2951);
3. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3327);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADILAN ANAK.